REFLEKSI DWI MINGGUAN_ FILOSOFIS PENDIDIKAN NASIONAL BAPAK KI HAJAR DEWANTARA_



REFLEKSI DWI MINGGUAN_ FILOSOFIS PENDIDIKAN NASIONAL BAPAK KI HAJAR DEWANTARA


Filosofi Pendidikan dari Bapak Ki Hajar Dewantara sebenarnya sudah lama saya dengar dari sejak saya duduk di bangku SD, tapi filosofi yang saya pahami saat itu hanya sebatas mengetahui semboyannya saja yaitu “TUT WURI HANDAYANI” yang pengertiannya bagi saya waktu itu adalah bahwa guru harus selalu menjadi contoh teladan sehingga sistem pembelajaran berpusat pada guru yaitu TEACHER CENTERED. Seiring dengan waktu setelah saya menjadi seorang guru/pendidik, maka pemahaman filosofi itu bertambah sedikit saja di pemikiran saya yaitu bahwa guru disamping menjadi teladan juga harus mengarahkan para siswanya, tapi hanya sebatas mengarahkan dalam artian terus mendorong anak didiknya menjadi orang yang hebat (di sekolah mendapat nilai tinggi/juara, nanti kalau sudah kerja mendapat karir yang tinggi, pengakuan sosial di masyarakat yaitu dihormati dan mendapat harta yang banyak). Pola pembelajaran masih banyak samanya ketika saya sekolah yaitu belum banyak memperhatikan keadaan karakteristik dan latar belakang murid, potensi maupun bakat murid, dan yang paling sedihnya adalah kurang adanya PERHATIAN dan EMPATI terhadap kebutuhan peserta didik dalam mengembangkan pendidikannya. Pada masa ini sistem pembelajarannya naik sedikit mengarah pada STUDENT ORIENTED, karena mengajar pelajaran produktif di SMK yang mana siswa dituntut untuk banyak praktik, tapi seluruh kegiatan pembelajaran praktik masih harus mengikuti apa instruksi atau kemauan guru, berarti sebenarnya masih banyak teacher oriented-nya .


Pada saat kurikulum 2013 dikeluarkan dan saya sudah mengikuti beberapa diklat kurikulum 2013, pengetahuan saya tentang cara mendidik murid mulai berbeda dari sebelumnya yaitu mulai memperhatikan karakteristik dan latar belakang murid, mulai mau mengamati-amati kemauan dan keterampilan yang dimiliki murid, mulai mau mendengar keluhan dan keinginan murid (perhatian dan empati saya kepada siswa mulai berkembang). Pada fase ini, saya juga sudah mulai menyadari bahwa pendidik tidak boleh memaksakan keinginannya (mis, karena mau mengejar target kurikulum tuntas, maka murid terus-terusan dicekoki dengan pembelajaran yang menggunakan metode ceramah sehingga menimbulkan kebosanan murid dan sedihnya keadaan ini tentunya akan menciptakan murid-murid yang mempunyai sifat KOLUSI. Sifat tersebut timbul dikarenakan mereka terus-terusan dipaksa mengejar target, seperti target nilai tinggi yang pada saat ulangan akan membuat banyak murid mencontek karena orientasi mereka yang sudah salah tadi yaitu hanya mengejar target nilai tinggi bukan target keahlian atau target pengembangan potensi/kemampuan murid, pada saat mengikuti lomba targetnya juara bukan karena mau mengukur kemampuan atau keahlian dan keterampilan yang sudah dimiliki atau untuk menambah pengalaman.

Perubahan yang saya lakukan pada pola pembelajaran saya di masa tersebut mendapat begitu banyak rintangan dari rekan guru dan atasan karena bertolak belakang dengan pemikiran mereka yaitu :

Murid harus terus disiplin karena takut hukuman bukan karena kesadarannya sendiri akan pentingnya kedisiplinan tersebut


Murid harus mengikuti pembelajaran yang berdasarkan kemauan guru bukan berdasarkan kesepakatan atau KOLABORASI antara murid dengan guru dan teman-temannya


Murid harus terus berprestasi menjadi orang hebat (di sekolah mendapat nilai tinggi/juara, nanti kalau sudah kerja mendapat karir yang tinggi, pengakuan sosial di masyarakat yaitu dihormati dan mendapat harta yang banyak)

Pemikiran dengan keadaan seperti inilah yang terkadang membuat saya juga ikut-ikutan melakukan kegiatan pembelajaran yang tidak berpihak pada murid, terkadang saya tergoda tidak mengikuti kata hati (perhatian dan empati) padahal pada saat sudah memahami pola pembelajaran kurikulum 2013 sudah terus berusaha mengembangkanya. Contoh hal-hal yang kurang baik yang terkadang saya lakukan tersebut yaitu contohnya mengikutkan murid ikut suatu lomba-lomba dengan orientasi supaya juara dan nama sekolah menjadi harum, tanpa menanyakan dulu apakah murid tersebut menyukai atau tidak lomba tersebut, juga tanpa membuat dulu pemahaman mendalam tentang fungsi dan tujuan mengikuti lomba dan tanpa membuat kesepakatan bersama dalam kedisiplinan pada saat pendalaman materi, juga yang terkadang saya lakukan adalah memaksakan murid memahami seluruh pembelajaran yang saya lakukan tanpa MELIBATKAN MURID dalam perancangan skenario dan kesepakatan kedisiplinan selama pembelajaran.

Kurikulum Merdeka yang sangat BERPIHAK KEPADA MURID sesuai dengan konsep filosofis pemikiran Bapak Ki Hajar Dewantara, kembali mengingatkan saya untuk mempertajam lagi perhatian dan empati secara tulus dalam setiap proses pembelajaran. Saya gembira sekali karena ternyata sikap yang selama ini terpendam dapat dilakukan dan disuarakan dengan terang-terangan tanpa ada rasa khawatir karena sudah ada platform yang memayunginya, apalagi sekarang saya ikut program CGP. Murid-murid saya jadi dapat saya kembangkan potensi keahlian dan keterampilan yang ada pada dirinya💖🙏

Comments